Kamis, 12 November 2009

Filsafat, Ilmu, Ilmu Filsafat Dan Filsafat Ilmu
Dan Urgensinya

MAKALAH

Disampaikan sebagai tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Cecep Sumarna



Oleh:
Munif
NIM 505920017
Konsentrasi PPI


PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) CIREBON 2009
PENDAHULUAN


Mengkaji ilmu dan filsafat, berarti mengenai pengetahuan manusia. Pengetahuan merupakan segala sesuatu yang diketahui manusia. Sidi Gazalba (1992:3) menyebut bahwa pengetahuan manusia dapat dibagi dalam dua jenis. Pertama, pengetahuan yang berasal dari manusia itu sendiri. Jenis pengetahuan kedua, dipercayai dari Tuhan, yang diistilahkan dengan wahyu. Tulisan ini akan membahas pengetahuan yang berasal dari manusia, pengetahuan yang dihasilkan oleh manusia itu sendiri.

Definisi pengetahuan menyimpulkan bahwa betapa banyak pengetahuan yang dimiliki manusia. Namun demikian, paling tidak dapat dikategorikan kedalam beberapa kategori. Berikut pemaparannya.

Seseorang mengetahui bahwa pohon mangga berbuah mangga, dengan cara menanam bibit pohon mangga dan menunggu beberapa waktu, kemudian dilihatlah buah mangga dari pohon tersebut. Inilah jenis pengetahuan manusia yang disebut pengetahuan inderawi.

Pohon mangga berbuah mangga, hal itu tidak terjadi dengan begitu saja, pasti ada yang menyebabkannya. Sesuatu itulah yang disebut logikanya, yaitu yang dapat menjelaskan apa yang tersembunyi dibalik pengetahuan inderawi. Sebagai sebuah contoh, bibit mangga apabila ditanam pada tanah yang subur, maka akan menghasilkan buah yang baik, dan sebaliknya apabila ditanam pada tanah yang tandus. Logikanya kira-kira faktor tanah yang menyebabkan perbedaan buahnya. Jenis pengetahuan manusia ini disebut dengan pengetahuan sains. Dalam bahasa Indonesia pengetahuan ini disebut dengan ilmu., walaupun istilah tersebut membingungkan, kenapa? Karena kata “Ilmu” itu diadopsi dari bahasa Arab yang berarti “pengetahuan”. Begitulah sekiranya yang dipaparkan oleh Ahmad Tafsir (2004:6).

Ahmad Tafsir (2004:6) menjelaskan bahwa pengetahuan inderawi pada hakikatnya sama dengan pengetahuan sains. Bedanya, pengetahuan inderawi itu sederhana (tidak diuraikan), sedangkan pengetahuan sains itu kompleks (diuraikan). Pengetahuan inderawi juga kompleks bila diuraikan. Bila pengetahuan inderawi diuraikan, ia akan sama persis dengan sains. Oleh karena itu dua pengetahuan tersebut (pengetahuan inderawi dan pengetahuan sains) dapat dijadikan satu, yaitu pengetahuan sains.

Lanjutan dari pengetahuan sains adalah pengetahuan yang kelak disebut dengan pengetahuan pengetahuan filsafat. Sebagai contoh, dari apa yang telah dipaparkan pada jenis pengetahuan inderawi dan sains bahwa mangga ditanam, buahnya mangga. Akan tetapi, mengapa mangga selalu berbuah mangga, tidak yang lainnya? Pengetahuan inderawi dan pengetahuan sains sudah tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Hanya dengan berfikir jawaban itu dapat ditemukan, yaitu karena ada hukum yan mengatur agar mangga selalu berbuah mangga, dimana oleh para ahli disebut dengan “gene”. Hukum itu tidak kelihatan, tidak empiris, tetapi akal sangat yakin hukum itu ada. Singkatnya, pohon mangga selalu berbuah mangga karena ada hukum yang mengaturnya. Inilah pengetahuan yang disebut dengan pengetahuan filsafat.

Permasalahan yang timbul dari pengetahuan tentang pohon mangga selalu berbuah mangga dikarenakan ada hukum yang mengaturnya adalah siapa yang membuat hukum itu? Tentu akan dijawab Dia-lah Tuhan. Ini masih wilayah filasafat, tetapi kalau sudah bertanya siapakah Tuhan itu? Ini sudah bukan wilayah filsafat lagi, melainkan sudah masuk dalam wilayah pengetahuan mistik, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui hati. Menurut Kant, manusia tidak memahami Tuhan dengan akalnya (akal murni menurut istilah Kant), melainkan dengan hatinya dia dapat memahami Tuhan.
PEMBAHASAN

Pengetahuan manusia terdiri dari tiga jenis, yaitu pengetahuan sains, pengetahuan filsafat, dan pengetahuan mistik.

A. Pengetahuan Sains ( Ilmu )

Kata ”ilmu” berasal dari bahasa Arab, berasal dari kata kerja ”’alima” yang berarti ”mengetahui”. Dengan demikian, ilmu mempunyai arti pengetahuan, yaitu merupakan hasil yang diperoleh dari pekerjaan mengetahui. Pemakaian dalam bahasa Indonesia diekuivalenkan dengan istilah sains.

Sidi Gazalba (1992:42) pernah merumuskan bahwa ilmu = kerjasama otak + tangan. Hal ini maksudnya bahwa ilmu dengan fakta yang dialami sangat berhubungan. Fakta yang belum ditafsirkan disebut data. Data inilah yang dihimpun oleh riset atau eksperimen. Sedangkan pelukisan, penjelasan serta kesimpulan dari eksperimen tersebut merupakan tugas pikiran. Riset atau eksperimen adalah kerja tangan. Berpikir adalah kerja otak. Karena itu ilmu merupakan hasil kerjasama antara otak dan tangan.

Penyusun menyimpulkan bahwa batasan-batasan wilayah pengetahuan manusia yang termasuk kedalam pengetahuan ilmu adalah sebagai berikut :
1. Objeknya harus bersifat empiris, yaitu fakta yang dialami.
2. Paradigmanya sains, yaitu cara pandang pengetahuannya harus logis dan empiris.
3. Metode yang digunakan atau cara memperolehnya adalah dengan riset atau eksperimen.
4. Potensi yang digunakan untuk menghasilkannya adalah akal dan indera.
5. Kriteria kebenarannya adalah logis dan empiris.

B. Ilmu dan Teori

Ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan cara riset terhadap objek-objek yang empiris, maka terbentuklah sebuah teori (di samping menemukan dalil atau hukum).

Secara umum teori adalah pendapat, pendapat seseorang terhadap suatu objek yang empiris setelah mengadakan riset. Sidi Gazalba (1992:14) menjelaskan bahwa teori adalah anggapan kebenaran yang kuat, dibina atas data yang cukup dan dapat menjelaskan secara logis gejala-gejala dari perkara yang diteorikan. Karena teori bersifat nisbi (relatif), terkadang terjadilah sebuah teori itu benar pada suatu waktu, tetapi pada waktu yang lain belum tentu benar. Hal itu disebabkan karena adanya perbedaan pengalaman. Sehingga Sidi Gazalba (1992:44) mengemukakan bahwa kebenaran ilmu adalah sepanjang pengalaman. Sebagai contoh, teori tata surya, dahulu mengatakan bahwa pluto itu merupakan salah satu planet yang berada di tata surya kita, namun setelah resolusi 5A Sidang Umum IAU (International Astronomical Union) ke-16 di Praha, Republik Ceko, pluto tidak berhak menyandang nama planet dan dikeluarkan dari jajaran tata surya kita. Hal itu dikarenakan dalam resolusi tersebut dinyatakan, sebuah benda langit dapat disebut planet apabila memenuhi tiga syarat, yakni mengorbit matahari, berukuran cukup besar, dan memiliki jalur orbit yang jelas dan bersih (tidak ada benda langit lain di orbit tersebut). Sedangkan pluto tidak memenuhi syarat yang ketiga. Orbit pluto memotong orbit planet neptunus, sehingga dalam perjalanannya mengelilingi matahari, pluto terkadang berada lebih dekat dengan matahari dibandingkan Neptunus (Kompas, 24 Agustus 2006)

Selain teori, ada pula dalil atau hukum. Itu merupakan tingkatan dari ilmu, dimana ilmu itu memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan ilmu dimulai dengan hipotesa, yaitu dugaan pikiran berdasarkan sejumlah data. Tingkatan ini terjadi apabila data/fakta yang terkumpul belum mencukupi, maka ilmuwan membina hipotesa. Apabila data telah cukup sebagai hasil penelitian dihadapkan kepada hipotesa, jika data tersebut mensahihkan (valid) hipotesa, maka hipotesa menjadi tesis, atau hipotesa menjadi teori. Jika teori mencapai generalisasi yang umum, maka menjadi dalil. Jika teori memastikan hubungan sebab-akibat yang serba tetap, maka ia menjadi hukum.
Setelah memahami ilmu secara mendetail, penulis akan memaparkan mengenai pengetahuan filsafat, yang selanjutnya disebut filsafat, sebagai bahan untuk membandingkan dan mencari hubungan diantara keduanya.

C. Pengetahuan Filsafat

Ahmad Tafsir (2004:15) memberikan definisi filsafat sebagai sejenis pengetahuan manusia yang logis saja. Istilah filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yaitu segi semantik dan segi praktis. Dari segi semantik, istilah filsafat berasal dari bahasa yunani, yaitu philoshopia, yang berarti philos = cinta, suka (loving), dan sophia = pengetahuan, hikmah (wisdom). Jadi philosophia berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Sedangkan jika ditinjau dari segi praktisnya filsafat berarti alam pikiran atau alam berpikir. Berfilsafat berarti berpikir. Namun tidak semua berpikir berarti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. (Mustofa:1997:9).

Sebagaimana ilmu, filsafat pun memiliki paradigma yang disebut dengan paradigma logis, metodenya disebut dengan metode rasional, dikarenakan hanya mengandalkan akal, tanpa melakukan riset atau eksperimen. Hal ini dikarenakan objek dari filsafat itu sendiri bersifat abstrak (segala sesuatu yang mungkin dapat dipikirkan oleh manusia). Suatu pengetahuan filsafat itu dikatakan benar bila ia dapat dipertanggungjawabkan secara logis dan selamanya tidak akan dapat dibuktikan secara empiris. Bila suatu waktu dapat dibuktikan secara empiris, maka ia segera berubah menjadi ilmu.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan batasan-batasan wilayah filsafat adalah sebagai berikut :
1. Objeknya bersifat abstrak
2. Menggunakan paradigma logis
3. Metode yang digunakan atau cara memperolehnya adalah dengan berpikir logis
4. Potensi yang digunakan untuk menghasilkan pengetahuan tersebut adalah akal
5. Kriteria kebenaranya adalah kelogisan argumen

D. Hubungan antara Ilmu dan Filsafat

Setelah mengetahui batasan wilayah masing-masing dari kedua pengetahuan diatas (ilmu dan filsafat), penulis akan mencoba untuk mencari titik temu (hubungan) dari keduanya. Tetapi sebelum itu, penulis akan memberikan gambaran perbandingan keduanya yang dapat dilihat pada tabel berikut :
Jenis
Pengetahuan Objek Paradigma Metode /
Cara memperoleh Potensi yang digunakan Kriteria
kebenaran
Ilmu Empiris Sains Riset / eksperimen
Akal dan
indera Logis dan
empiris
Filsafat Abstrak Logis Berpikir
logis Akal Kelogisan
argumen


Apabila diperhatikan tabel diatas, ilmu dengan paradigmanya ingin menghasilkan sebuah pengetahuan yang pasti, eksak, teratur serta tersusun. Namun hal itu pun suatu hal yang diinginkan oleh filsafat. Hanya saja kepastian dan ke-eksakan filsafat tidak mungkin diuji seperti ilmu. Ilmu tersusun dari hasil riset atau eksperimen. Maka riset atau eksperimen pula yang menguji kebenaran ilmu. Sedangkan filsafat merupakan hasil dari berpikir radikal, sistematis dan universal. Maka keradikalan, kesistematisan dan keuniversalan pemikiran pula yang dapat menguji kebenaran filsafat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kebenaran ilmu adalah sepanjang pengalaman, sedangkan kebenaran filsafat sepanjang pemikiran.

Sidi Gazalba (1994:44) lebih lanjut mengemukakan tentang sisi-sisi perbedaan dari kedua pengetahuan tersebut yang dapat dijadikan sebagai perbandingan diantara keduanya, yaitu :
”Ilmu mencari pengetahuan dari segi-segi tertentu, bidang-bidang khusus. Sedangkan filsafat mencari pengetahuan dari semua segi dan bidang menyeluruh. Ilmu mempelajari unsur-unsur alam, benda-benda mati saja, tanaman, hewan, manusia saja, bumi saja, bulan, matahari dan bintang saja. Filsafat mengingini pengetahuan tentang seluruh alam. Ilmu mempelajari segi-segi tertentu kehidupan. Filsafat mempelajari kehidupan menyeluruh. Ilmu mempelajari jurusan-jurusan tertentu tentang hukum : hukum adat, hukum kriminil, hukum perdata, dan lain-lain. Filsafat mempelajari asas dari segala hukum, maksudnya, tujuannya, nilainya, dan asalnya. Bahkan ia-lah yang menyelesaikan pengetahuan tentang pangkal bertolak dari ilmu itu. Apa hukum itu ? Kalau ilmu hukum bertolak dari kerjanya hukum, sebagai pengertian yang sudah tertentu, adalah filsafat hukum mempersoalkan pengertian itu, menentukannya, untuk selanjutnya dipergunakan oleh ilmu hukum.”


Dengan demikian, dapat diketahui bahwa ada dua tugas filsafat yang tidak akan ditemukan dalam lapangan ilmu, yaitu :
1. Refleksi terhadap dunia menyeluruh, khususnya terhadap makna, tujuan dan nilai.
2. Menguji pengertian-pengertian, baik yang dipakai oleh ilmu atau oleh anggapan umum secara kritis.

Penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa filsafat memiliki hubungan yang erat dengan ilmu, dimana keduanya saling melengkapi. Filsafat mengkaji hal-hal yang tidak dikaji oleh ilmu, dan filsafat pun diminta untuk memberi laporan sintesa hasil yang dicapai filosof yang beranggapan, ruang gerak filsafat sudah begitu sempit, bahkan mungkin lenyap andaikata ia tidak menyatukan diri dengan ilmu. Para filosof mempelajari ilmu. Berdasarkan ilmu tersebut ia membentuk pandangan-pandangan atau teori filsafat. Pernyataan filsafat harus berdasarkan fakta-fakta penelitian ilmiah. Tanpa pendasaran demikian pernyataan itu tidak bernilai. Ada pula filosof yang mengatakan bahwa kewajiban filsafat ialah membentuk fundamen ilmu, melakukan analisa-analisa logis metode-metode yang dipakai ilmu. Dengan demikian hakikat filsafat ialah riset epistemologi. Pandangan diatas dianut dunia universitas Eropa pada umumnya semenjak akhir abad ke–19.

Selain pandangan diatas, ada sebuah pandangan yang kontradiktif dengan pandangan tersebut. Pandangan kontradiktif tersebut menyatakan bahwa filsafat itu otonom, tidak ada hubungan dengan ilmu, bahkan keduanya saling-tantang. Bukanlah tugas filsafat untuk menjadi alat ilmu, menyelidiki pengertian-pengertian kritis dasar ilmu atau memperhatikan dan menyimpulkan hasil-hasilnya. Pengertian-pengertian yang dipakai oleh filsafat berbeda dengan yang dipakai oleh ilmu. Masing-masing misalnya mempergunakan kata-kata ruang, waktu, tenaga, roh, sebab, akibat, hukum alam, kuantitas, kualitas dan lain-lain dengan pengertian-pengertian yang berbeda.









PENUTUP

Setelah membahas dari awal sampi akhir, dalam hubungan antara ilmu dan filsafat, pada intinya terdapat dua pandangan.

Pandangan pertama menyatakan bahwa ilmu dan filsafat memiliki hubungan yang sangat erat, dimana keduanya saling melengkapi. Filsafat mengkaji hal-hal yang tidak dikaji oleh ilmu, dan filsafat pun diminta untuk memberi laporan sintesa hasil yang dicapai filosof yang beranggapan, ruang gerak filsafat sudah begitu sempit, bahkan mungkin lenyap andaikata ia tidak menyatukan diri dengan ilmu. Perkembangan ilmu harus bersama-sama dengan filsafat, bahkan ada yang menyamakan filsafat dengan ilmu.

Pandangan kedua menyatakan bahwa filsafat itu otonom, tidak memiliki hubungan dengan ilmu, bahkan keduanya saling-tantang. Filsafat tidak memiliki tugas untuk menjadi alat ilmu.

Sebagai penutup, Sidi Gazalba (1992:55) pernah mengatakan bahwa kita yang bukan filosof, tetapi sebagai orang yang mempelajari filsafat, tidak melibatkan diri dalam pertantangan ahli-ahli itu. Bagi kita yang penting memahami hubungan filsafat dengan dab peranannya atas ilmu umumnya, sepanjang yang dapat kita simpulkan dari pengertian kedua jenis pengetahuan dan menonjol masa-masa terakhir.[]






DAFTAR PUSTAKA

Asy-Syarafa, Ismail. Ensiklopedi Filsafat. Jakarta: Khalifa, 2005.

Gazalba, Sidi. Sistematika Filsafat. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992.

Harian Kompas, edisi 28 Agustus 2006

Mustofa. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia, 1997.

Suriasumantri, Jujun. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003.

Syadali, Mudzakir. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia, 1997.

Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004.
Rapar, Jan Hendrik. Pengantar Filsafat, Yogyakarta,Kanisius,1996

Tafsir, Ahmad. Filsafat Ilmu, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2007

Kumpulan Diktat dan Foto Copy Pribadi Tahun 2009

KHALIFAH USMAN BIN AFFAN

PERIODE UTSMAN BIN AFFAN
(644-656 M.)




Disampaikan sebagai tugas Mata Kuliah Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam
Pada Konsentrasi PPI
Dosen Pengampu:
Prof. Dr. HM. Imron Abdullah, M.Ag
Dr. A. R. Idham Kholid, S.Ag. M.Ag






Oleh:

Munif (NIM 505920017)










PROGRAM PASCA SARJANA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) CIREBON 2009
PENDAHULUAN

A. Biografi Khalifah Utsman Bin Affan (644-656 M.)
Nama lengkapnya adalah Utsman bin Affan bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushay al-Quraisyi. Nabi sangat mengaguminya karena ia adalah orang yang sederhana, shaleh dan dermawan. Ia dikenal dengan sebutan Abu Abdullah. Ia dilahirkan pada tahun 573 M di Makkah dari pasangan suami isteri Affan dan Arwa. Beliau merupakan salah satu keturunan dari keluarga besar Bani Umayyah suku Quraisy. Sejak kecil, ia dikenal dengan kecerdasan, kejujuran dan keshalehannya sehingga Rasulullah SAW sangat mengaguminya. Oleh karena itu, ia memberikan kesempatan untuk menikahi dua putri Nabi secara berurutan, yaitu setelah putri Nabi yang satu meninggal Dunia (Muhammadunnasir,1981:137-138) . Utsman bin Affan sebagaimana Abu Bakar beliau adalah seorang bangsawan Qurays yang masuk islam pada masa awal-awal kenabian. Beliau orangnya sangat pemalu dan perasa. Tapi memiliki kesolehan yang istimewa, hingga Beliau dinikahkan dengan Ruqayyah putri nabi. Ketika Ruqayyah wafat dia dinikahkan lagi dengan putri nabi yang lain yakni Ummu Kaltsum.Ketika Ummu wafat karena sayangnya nabi pada Utsman beliau berujar, '' Seandainya aku punya putri yang lain maka akan aku nikahkan lagi sama Utsman...”, demikian sebagai gambaran keutamaan sahabat Utsman dimata Rosulullah.
Ustman bin Affan masuk Islam pada usia 34 tahun. Berawal dari kedekatannya dengan Abu Bakar, beliau dengan sepenuh hati masuk Islam bersama sahabatnya Thalhah bin Ubaidillah. Meskipun masuk Islamnya mendapat tantangan dari pamannya yang bernama Hakim, ia tetap pada pendiriannya. Karena pilihan agamanya tersebut, Hakim sempat menyiksa Ustman bin Affan dengan siksaan yang amat pedih. Siksaan terus berlangsung hingga datang seruan Nabi Muhammad SAW agar orang-orang Islam berhijrah ke Habsyi.
Di kalangan bangsa Arab ia tergolong konglomerat, tetapi perilakunya sederhana. Selama tinggal di Madinah, ia memperlihatkan komitmen sosialnya yang tinggi pada Islam. Seluruh hidupnya diabdikan untuk syiar agama Islam dan seluruh kekayaannya didermakan untuk kepentingan umat Islam. Ia menyumbangkan 950 ekor unta dan 50 ekor kuda serta 1000 dirham dalam perang Tabuk, juga membeli mata air dari orang Romawi dengan harga 20.000 Dirham guna diwakafkan bagi kepentingan umat Islam (Mufradi,1997:58-59). Beliau juga membelikan tanah 15.000 Dinar untuk memperluas masjid dan menambah lagi 10.000 Dinar.
Selama pemerintahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab, Ustman menjadi pejabat yang amat dipercaya yaitu sebagai anggota dewan inti yang selalu diminta pendapatnya tentang masalah-masalah kenegaraan, misalnya masalah pengangkatan Umar sebagai pengganti Abu Bakar.
Ustman bin Affan menjabat Khalifah pada usia 70 tahun hingga usia 82 tahun. Adalah Khalifah yang paling lama memerintah dibanding ketiga Khalifah lainnya. Ia memerintah Dunia Islam selama 12 tahun (24–36 H/644–656 M). Dalam pemerintahannya, banyak kemajuan yang telah dicapainya, disamping tidak sedikit pula polemik dan kesan negatif yang terjadi di akhir pemerintahannya. Secara dramatik bahkan muncul pendapat dan argumen bahwa Khalifah Ustman melakukan penyimpangan terhadap ajaran Islam, sehingga ia dianggap tidak layak menyandang gelar Khalifah ar-Rasyidin. Sebab selama menjadi Khalifah, ia diasumsikan banyak melakukan nepotisme dan tuduhan prilaku menyimpang lainnya oleh lawan-lawan politiknya.
B. Kekhalifahan dan Kepemimpinan Utsman bin Affan RA.
Sampai menjelang wafatnya Umar (Khalifah II) tidak mau menunjuk penggantinya. Dari tempat tidur dan berbaring tiga hari karena luka yang disebabkan oleh tikaman Peroz(Abu Lu’lu’ah), Umar ra. membentuk team formatur yang terdiri atas enam orang sahabat terkemuka untuk menentukan penggantinya sebagai khalifah. Dia menyerahkan kepada Majlis Syura ini untuk melakukan musyawarah menunjuk pengganti beliau. Enam sahabat yang menjadi formatur adalah Utsman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Thalib, Talhah, Zubeir, Abd al-Rahman Ibn Auf dan Sa’adb Ibn Abi Waqash. Majlis ini dipimpin oleh Abdurrahman bin Auf. Dari hasil musyawarah serta fit and proper test terpilih Utsman sebagai khalifah ke III penggganti Umar Ibn al-Khaththab. Beliau terpilih sebagai khalifah pada usia 68 tahun memerintah selama 12 tahun. Beliau wafat karena terbunuh didalam suatu keadaan chaos.
Pada awal-awal kepemimpinannya Utsman dihadapkan masalah pelik dimana Beliau harus menghukum Ubaidillah bin umar yang telah membunuh orang-orang yang terlibat pembunuhan ayahnya Umar bin Khottob. Tetapi dengan bijak Beliau menjatuhkan hukuman di’at kepada Ubaidillah. Dengan keputusan yang bijak itu ahirnya suasana bisa kembali tenang seperti ketika umar masih hidup.
Setelah 6 tahun pemerintahannya pertentangan Bani Hasyim dan Bani Umayyah mulai muncul kepermukaan. Ini dikarenakan Utsman mengangkat kerabat-kerabatnya dalam jabatan birokrasi sehingga terjadi tragedi terbunuhnya Utsman yang sedang mengaji. Beliau dibunuh oleh sekelompok lawan politiknya.
Beliau memperbanyak mushhaf yang telah disusun Abu Bakar untuk dibagikan ke daerah-daerah dan mushhaf ini bisa kita baca sampai saat ini dan yang akan datang. Beliau kemana saja selalu membawa mushhaf dan membacanya. Bahkan ketika terbunuhpun beliau sedang membaca sehingga mushhaf berlumuran darah. Sejak menjabat hingga wafatnya beliau sangat teguh membela Islam. Meski diakhir kepemimpinannya banyak polemik terjadi, tepatnya mulai dipertengahan tahun ke enam masa kepemimpinannya. Beberapa kontroversi itu antara lain: Kenapa Dewan Formatur hanya berjumlah enam orang yang kompetensinya relatif sama? Kenapa Khalifah Utsman yang soleh dan dermawan juga kaya mendapat tuduhan korupsi? Kenapa pengangkatan kerabat beliau menjadi sasaran kritik, padahal hanya 3 orang? Kenapa bangsawan dan ahli pemerintahan lainnya kurang mendekati Khalifah hingga dapat di tunjuk saudara beliau untuk menjadi pejabat?

PEMBAHASAN

ISLAM MASA KHALIFAH USTMAN BIN AFFAN


Diantara Khulafaurrasyidin adalah Ustman Ibnu Affan (Khalifah ketiga) yang memerintah umat Islam paling lama dibandingkan ketiga Khalifah lainnya. Ia memerintah selama 12 tahun. Dalam pemerintahannya, sejarah mencatat telah banyak kemajuan dalam berbagai aspek yang dicapai untuk umat Islam. Akan tetapi juga tidak sedikit polemik yang terjadi diakhir pemerintahannya.

Pada masa Khalifah Ustman, konsep kekhalifaan sudah mulai mundur, dalam arti interest politik disekitar Khalifah mulai banyak diwarnai oleh dinamika kepentingan suku dan perbedaan interpretasi konsep kepemimpinan dalam Islam. Ketika itu sebenarnya Umar telah memilih jalan demokratis dalam menentukan penggantinya. Akan tetapi beliau berada dalam pada posisi dilematis, ia diminta oleh sebagian sahabat untuk menunjukkan penggantinya. Maka jalan keluar yang ditempuh Khalifah Umar adalah memilih formatur 6
orangyang terdiri dari: Ustman bin Affan, Ali Ibnu Abi Thalib, Thalhah, Zubair, Ibnu Awwam, Sa’ad Ibnu Abi Waqqas dan Abdurrahman Ibnu Auf. Kemudian formatur sepakat memilih Ustman sebagai Khalifah.

Terpilihnya Ustman sebagai Khalifah ternyata melahirkan perpecahan dikalangan pemerintahan Islam. Pangkal masalahnya sebenarnya berasal dari persaingan kesukuan antara bani Umayyah dengan bani Hasyim atau Alawiyah yang memang bersaing sejak zaman pra Islam. Oleh karena itu, ketika Ustman terpilih masyarakat menjadi dua golongan, yaitu golongan pengikut Bani Ummayyah, pendukung Ustman dan golongan Bani Hasyim pendukung Ali. Perpecahan itu semakin memuncak dipenghujung pemerintahan Ustman, yang menjadi simbol perpecahan kelompok elite yang menyebabkan disintegrasi masyarakat Islam pada masa berikutnya.

A. Proses Kekhalifahan Ustman bin Affan
Pada zaman kekhalifahan Umar bin Khattab, tepatnya ketika beliau sakit dibentuklah dewan musyawarah yang terdiri dari Ali bin Abi Thalib, Ustman bin Affan, Sa’ad bin Abi Waqas, Thalha bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam dan Abdur Rahman bin Auf. Salah seorang putra Umar, Abdullah ditambahkan pada komisi di atas tetapi hanya punya hak pilih dan tidak berhak dipilih.

Dewan tersebut dikenal dengan sebutan Ahlul Halli wal Aqdi dengan tugas pokok menentukan siapa yang layak menjadi penerus Khalifah Umar bin Khattab dalam memerintah umat Islam. Suksesi pemilihan Khalifah ini dimaksudkan untuk menyatukan kembali kesatuan umat Islam yang pada saat itu menunjukkan adanya indikasi disintegrasi.

Sahabat-sahabat yang tergabung dalam dewan, posisinya seimbang tidak ada yang lebih menonjol sehingga cukup sulit untuk menetapkan salah seorang dari mereka sebagai pengganti Umar. Tidaklah heran bila dalam sidang terjadi tarik ulur pendapat yang sangat alot, walau pada akhirnya, mereka memutuskan Ustman bin Affan sebagai Khalifah setelah
Umar nin Khattab. Diantara kelima calon hanya Tholhah yang sedang tidak berada di Madinah ketika terjadi pemilihan. Abdurahman Ibn Auf mengambil inisiatif untuk menyelenggarakan musyawarah pemilihan Khalifah pengganti Umar. Ia meminta pendapat
masing-masing nominasi. Saat itu, Zubair dan Ali mendukung Ustman. Sedangkan Ustman sendiri mendukung Ali, tetapi Ali menyatakan dukungannya terhadap Ustman. Kemudian Abdurahman bin Auf mengumpulkan pendapat-pendapat sahabat besar lainnya. Akhirnya suara mayoritas menghendaki dan mendukung Ustman. Lalu ia dinyatakan resmi sebagai Khalifah melalui sumpah, dan baiat seluruh umat Islam. Pemilihan itu berlangsung pada bulan Dzul Hijjah tahun 23 H atau 644 M dan dilantik pada awal Muharram 24 H atau 644 M. Ketika Tholhah kembali ke Madinah Ustman memintanya menduduki jabatannya, tetapi Tholhah menolaknya seraya menyampaikan baiatnya. Demikian proses pemilihan Khalifah Ustman bin Affan berdasarkan suara mayoritas.

Dalam sejarahnya kemudian, tarik ulur perbedaan pendapat tersebut mengandung banyak interpretasi. Misalnya, dikatakan bahwa dalam pemilihan Khalifah Ustman ditemui beberapa kecurangan, dan sebenarnya yang pantas menduduki kursi Khalifah setelah umar adalah Ali bin Abi Thalib. Keberhasilan Ustman bin Affan menjadi Khalifah ditentukan oleh peran lima tokoh yaitu Umar bin Khattab, Abdur Rahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqas, Thalhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam. Mereka ini masuk Islam secara kolektif atas pengaruh Abu Bakar as-Shiddiq.

Dengan demikian, bila dewan itu dipetakan dapat ditemukan dua kekuatan yang bersaing, yaitu poros Abu Bakar dan Umar yang pro Ustman dengan poros Ali. Kini penganut Syi’ah berpendapat bahwa terbentuknya dewan musyawarah dengan 6 anggota tersebut merupakan “taktik politik” pro Ustman yang ingin agar Ustman menjadi Khalifah. Wacana ini sangat ditentang oleh Abdul Hamid kisyik dengan dasar kesalehan dan kerendahan hati Utsman, juga latar belakang sejarah Utsman yang berjuang demi Islam.


B. Kepemimpinan dan Tindakan Khalifah Utsman RA

1. Perluasan Wilayah
Setelah Khalifah Umar bin Khattab berpulang ke rahmatullah terdapat daerah-daerah yang membelot terhadap pemerintah Islam. Pembelotan tersebut ditimbulkan oleh pendukung-pendukung pemerintahan yang lama atau dengan perkataan lain pamong praja dari pemerintahan lama (pemerintahan sebelum daerah itu masuk ke daerah kekuasaan Islam) ingin hendak mengembalikan kekuasaannya. Sebagaimana yang dilakukan oleh kaisar Yazdigard yang berusaha menghasut kembali masyarakat Persia agar melakukan perlawanan terhadap penguasa Islam. Akan tetapi dengan kekuatannya, pemerintahan Islam berhasil memusnahkan gerakan pemberontakan sekaligus melanjutkan perluasan ke negeri-negeri Persia lainnya, sehingga beberapa kota besar seperti Hisrof, Kabul, Gasna, Balkh dan Turkistan jatuh menjadi wilayah kekuasaan Islam.

Adapun daerah-daerah lain yang melakukan pembelotan terhadap pemerintahan Islam adalah Khurosan dan Iskandariyah. Khalifah Utsman mengutus Sa’ad bin al-Ash bersama Khuzaifah Ibnu al-Yamaan serta beberapa sahabat Nabi lainnya pergi ke negeri Khurosan dan sampai di Thabristan dan terjadi peperangan hebat, sehingga penduduk mengaku kalah dan meminta damai. Tahun 30 H/ 650 M pasukan Muslim berhasil menguasai Khurazan.

Adapun tentang Iskandariyah, bermula dari kedatangan kaisar Konstan II dari Roma Timur atau Bizantium yang menyerang Iskandariyah dengan mendadak, sehingga pasukan Islam tidak dapat menguasai serangan. Panglima Abdullah bin Abi Sarroh yang menjadi wali di daerah tersebut meminta pada Khalifah Utsman untuk mengangkat kembali panglima Amru bin ‘Ash yang telah diberhentikan untuk menangani masalah di Iskandariyah. Abdullah bin Abi Sarroh memandang panglima Amru bin ‘Ash lebih cakap dalam memimpin perang dan namanya sangat disegani oleh pikak lawan. Permohonan tersebut dikabulkan, setelah itu terjadilah perpecahan dan menyebabkan tewasnya panglima di pihak lawan.
Selain itu, Khalifah Ustman bin Affan juga mengutus Salman Robiah Al-Baini untuk berdakwah ke Armenia. Ia berhasil mengajak kerjasama penduduk Armenia, bagi yang menentang dan memerangi terpaksa dipatahkan dan kaum muslimin dapat menguasai Armenia. Perluasan Islam memasuki Tunisia (Afrika Utara) dipimpin oleh Abdullah bin Sa‘ad bin Abi Zarrah. Tunisia sebelum kedatangan pasukan Islam sudah lama dikuasai Romawi. Tidak hanya itu saja pada saat Syiria bergubernurkan Muawiyah, ia berhasil menguasai Asia kecil dan Cyprus.

Dimasa pemerintahan Utsman, negeri-negeri yang telah masuk ke dalam kekuasaan Islam antara lain: Barqoh, Tripoli Barat, sebagian Selatan negeri Nubah, Armenia dan beberapa bagian Thabaristan bahkan tentara Islam telah melampaui sungai Jihun (Amu Daria), negeri Balkh (Baktria), Hara, Kabul dan Gzaznah di Turkistan.

Jadi Enam tahun pertama pemerintahan Ustman bin Affan ditandai dengan perluasan kekuasaan Islam. Perluasan dan perkembangan Islam pada masa pemerintahannya telah sampai pada seluruh daerah Persia, Tebristan, Azerbizan dan Armenia selanjutnya meluas pada Asia kecil dan negeri Cyprus. Atas perlindungan pasukan Islam, masyarakat Asia kecil dan Cyprus bersedia menyerahkan upeti sebagaimana yang mereka lakukan sebelumnya pada masa kekuasaan Romawi atas wilayah tersebut.

2. Pembangunan Angkatan Laut
Pembangunan angkatan laut bermula dari adanya rencana Khalifah Ustman untuk mengirim pasukan ke Afrika, Mesir, Cyprus dan Konstatinopel Cyprus. Untuk sampai ke daerah tersebut harus melalui lautan. Oleh karena itu atas dasar usul Gubernur di daerah, Ustman pun menyetujui pembentukan armada laut yang dilengkapi dengan personil dan sarana yang memadai.

Pada saat itu, Mu’awiyah, Gubernur di Syiria harus menghadapi serangan-serangan Angkatan Laut Romawi di daerah-daerah pesisir provinsinya. Untuk itu, ia mengajukan permohonan kepada Khalifah Utsman untuk membangun angkatan laut dan dikabulkan oleh Khalifah. Sejak itu Muawiyah berhasil menyerbu Romawi.

Mengenai pembangunan armada itu sendiri, Muawiyah tidaklah membutuhkan tenaga asing sepenuhnya, karena bangsa Kopti, begitupun juga penduduk pantai Levant yang berdarah Punikia itu, ramai-ramai menyediakan dirinya untuk membuat dan memperkuat armada tersebut. Itulah pembangunan armada yang pertama dalam sejarah Dunia Islam.

Selain itu, Keberangkatan pasukan ke Cyprus yang melalui lautan, juga mendesak ummat Islam agar membangun armada angkatan laut. Pada saat itu, pasukan di pimpin oleh Abdullah bin Qusay Al-Harisy yang ditunjuk sebagai Amirul Bahr atau panglima Angkatan Laut. Istilah ini kemudian diganti menjadi Admiral atau Laksamana. Ketika sampai di Amuria dan Cyprus pasukan Islam mendapat perlawanan yang sengit, tetapi semuanya dapat diatasi hingga sampai di kota Konstatinopel dapat dikuasai pula.

Di samping itu, serangan yang dilakukan oleh bangsa Romawi ke Mesir melalui laut juga memaksa ummat Islam agar segara mendirikan angkatan laut. Bahkan pada tahun 646 M, bangsa Romawi telah menduduki Alexandria dengan penyerangan dari laut. Penyerangan itu mengakibatkan jatuhya Mesir ke tangan kekuasan bangsa Romawi. Atas perintah Khalifah Ustman, Amr bin Ash dapat mengalahkan bala tentara bangsa Romawi dengan armada laut yang besar pada tahun 651 M di Mesir (Misbach,1984:10-11).

Berawal dari sinilah Khalifah Ustman bin Affan perlu diingat sebagai Khalifah pertama kali yang mempunyai angkatan laut yang cukup tangguh dan dapat membahayakan kekuatan lawan.

3. Kodifikasi Al-Quran, Mushhaf Ustmani
Penyebaran Islam bertambah luas dan para Qori‘ pun tersebar di berbagai daerah, sehinga perbedaan bacaan pun terjadi yang diakibatkan berbedanya qiro‘at dari qori‘ yang sampai pada mereka. Sebagian orang Muslim merasa puas karena perbedaan tersebut disandarkan pada Rasullullah SAW. Tetapi keadaan demikian bukan berarti tidak menimbulkan keraguan kepada generasi berikutnya yang tidak secara langsung bertemu Rasullullah.

Ketika terjadi perang di Armenia dan Azarbaijan dengan penduduk Irak, diantara orang yang ikut menyerbu kedua tempat tersebut adalah Hudzaifah bin Aliaman. Ia melihat banyak perbedaan dalam cara membaca Al-Qur‘an. Sebagian bacaan itu tercampur dengan kesalahan tetapi masing-masing berbekal dan mempertahankan bacaannya. Bahkan mereka saling mengkafirkan. Melihat hal tersebut beliau melaporkannya kepada Khalifah Ustman. Para sahabat amat khawatir kalau perbedaan tersebut akan membawa perpecahan dan penyimpangan pada kaum muslimin. Mereka sepakat menyalin lembaran pertama yang telah di lakukan oleh Khalifah Abu Bakar yang disimpan oleh istri Rasulullah, Siti Hafsah dan menyatukan umat Islam dengan satu bacaan yang tetap pada satu huruf (Khalil al-Qathan, 1992:192).

Selanjutnya Ustman mengirim surat pada Hafsah yang isinya kirimkanlah pada kami lembaran-lembaran yang bertuliskan Al-Qur‘an, kami akan menyalinnya dalam bentuk mushhaf dan setelah selesai akan kami kembalikan kepada anda. Kemudian Hafsah mengirimkannya kepada Ustman. Ustman memerintahkan para sahabat yang antara lain: Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn Zubair, Sa‘ad Ibn Al-‘Ash dan Abdurahman Ibnu Harist Ibn Hisyam, untuk menyalin mushhaf yang telah dipinjam. Khalifah Ustman berpesan kepada kaum Quraisy bila anda berbeda pendapat tentang hal Al-Qur‘an maka tulislah dengan ucapan lisan Quraisy karena Al-Qur‘an diturunkan di kaum Quraisy. Setelah mereka menyalin ke dalam beberapa mushhaf Khalifah Ustman mengembalikan lembaran mushhaf asli kepada Hafsah. Selanjutnya ia menyebarkan mushhaf yang yang telah di salinnya ke seluruh daerah dan memerintahkan agar semua bentuk lembaran mushhaf yang lain dibakar (At-Tibyan,1984:96).

Al-Mushhaf ditulis lima buah, empat buah dikirimkan ke daerah-daerah Islam supaya disalin kembali dan supaya dipedomani, satu buah disimpan di Madinah untuk Khalifah Ustman sendiri dan mushhaf ini disebut mushhaf Al-Imam dan dikenal dengan mushhaf Ustmani.

Jadi langkah pengumpulan mushhaf ini merupakan salah satu langkah strategis yang dilakukan Khalifah Ustman bin Affan yakni dengan meneruskan jejak Khalifah pendahulunya untuk menyusun dan mengkodifikasikan ayat-ayat al-Qur an dalam sebuah mushhaf. Karena selama pemerintahan Ustman, banyak sekali bacaan dan versi al-Qur’an diberbagai wilayah kekuasaan Islam yang disesuaikan dengan bahasa daerah masing-masing. Dengan dibantu oleh Zaid bin Tsabit dan sahabat-sahabat yang lain, Khalifah berusaha menghimpun kembali ayat-ayat al-Qur an yang outentik berdasarkan salinan Kitab Suci yang terdapat pada Siti Hafsah, salah seorang isteri Nabi yang telah dicek kembali oleh para ahli dan huffadz dari berbagai kabilah yang sebelumnya telah dikumpulkan.

Keinginan Khalifah Ustman agar kitab al-Qur’an tidak mempunyai banyak versi bacaan dan bentuknya tercapai setelah kitab yang berdasarkan pada dialek masing-masing kabilah semua dibakar, dan yang tersisa hanyalah mushhaf yang telah disesuaikan dengan naskah al-Qur’an aslinya. Hal tersebut sesuai dengan keinginan Nabi Muhammad SAW yang menghendaki adanya penyusunan al-Qur’an secara standar (Ahmad, 1984:37-38).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa motif pengumpulan mushhaf oleh Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Ustman berbeda. Pengumpulam mushhaf yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar dikarenakan adanya kekhawatiran akan hilangnya Al-Qur‘an karena banyak huffadz yang meninggal karena peperangan, sedangkan motif Khalifah Ustman karena banyaknya perbedaan bacaan yang dikhawatirkan timbul perbedaan (Said al-Qathani, 1994:118).

C. Konflik dan Kemelut Politik Islam
Pemerintahan Ustman berlangsung selama 12 tahun. Pada masa awal pemerintahannya, beliau berhasil memerintahan Islam dengan baik sehingga Islam mengalami kemajuan dan kemakmuran dengan pesat. Namun pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tak puas dan kecewa umat Islam terhadapnya. Khalifah Ustman adalah pemimpin yang sangat sederhana, berhati lembut dan sangat shaleh, sehingga kepemimpinan beliau dimanfaatkan oleh sanak saudaranya dari keluarga besar Bani Umayah untuk menjadi pemimpin di daerah-daerah.

Oleh karena itu, orang-orang menuduh Khalifah Ustman melakukan nepotisme, dengan mengatakan bahwa beliau menguntungkan sanak saudaranya Bani Umayyah, dengan jabatan tinggi dan kekayaannya. Mereka juga menuduh pejabat-pejabat Umayyah suka menindas dan menyalahkan harta baitul maal. Disamping itu Khalifah Utsman dituduh sebagai orang yang boros mengeluarkan belanja, dan kebanyakan diberikan kepada kaum kerabatnya sehingga hampir semuanya menjadi orang kaya.

Dalam kenyataannya, menurut Mufradi (1997:62) satu persatu kepemimpinan di daerah-daerah kekuasaan Islam diduduki oleh keluarga Khalifah Ustman. Adapun pejabat-pejabat yang diangkat Ustman antara lain:

1. Abdullah bin Sa‘ad (saudara susuan Ustman) sebagai wali Mesir menggantikan Amru bin Ash.
2. Abdullah bin Amir bin Khuraiz sebagai wali Basrah menggantikan Abu Musa Al-Asyari.
3. Walid bin Uqbah bin Abi Muis (saudara susuan Ustman) sebagai wali Kufah menggantikan Sa‘ad bin Abi Waqos.
4. Marwan bin Hakam (keluarga Ustman ) sebagai sekretaris Khalifah Ustman.

Pengangkatan pejabat dikalangan keluarga oleh Khalifah Ustman telah menimbulkan protes keras di daerah dan menganggap Ustman telah melakukan nepotisme. Menurut Ali (1997:125), protes orang dengan tuduhan nepotisme tidaklah beralasan karena pribadi Ustman itu bersih. Pengangkatan kerabat oleh Ustman bukan tanpa pertimbangan. Hal ini ditunjukkan oleh jasa yang dibuat oleh Abdullah bin Sa‘ad dalam melawan pasukan Romawi di Afrika Utara dan juga keberhasilannya dalam mendirikan angkatan laut. Ini menunjukkan Abdullah bin Sa’ad adalah orang yang cerdas dan cakap, sehingga pantas menggantikan Amr ibn ‘Ash yang sudah lanjut usia. Hal lain ditunjukkan ketika diketahui Walid bin Uqbah melakukan pelanggaran berupa mabuk-mabukkan, ia dihukum cambuk dan diganti oleh Sarad bin Ash. Hal tersebut tidak akan dilakukan oleh Ustman, kalau beliau hanya menginginkan kerabatnya duduk di pemerintahan.

Situasi politik diakhir masa pemerintahan Ustman benar-benar semakin mencekam bahkan usaha-usaha yang bertujuan baik untuk kamaslahatan umat disalahfahami dan melahirkan perlawanan dari masyarakat. Misalnya kodifikasi al-Qur’an dengan tujuan supaya tidak terjadi kesimpangsiuran telah mengundang kecaman melebihi dari apa yang tidak diduga. Lawan-lawan politiknya menuduh Ustman bahwa ia sama sekali tidak punya otoritas untuk menetapkan edisi al-Qur’an yang ia bukukan. Mereka mendakwa Ustman secara tidak benar telah menggunakan kekuasaan keagamaan yang tidak dimilikinya.

Tentang tuduhan pemborosan uang negara antara lain pembangunan rumah mewah lengkap dengan peralatan untuk Ustman, istrinya dan anak-anaknya ditolak keras oleh Ustman. Demikian pula terhadap tuduhan keji tentang pemborosan dan korupsi uang negara untuk dibagi-bagikan pada saudaranya. Tuduhan lain terhadap Ustman yaitu mengambil harta baitul maal adalah tidak benar, karena beliau dan keluarga hanya makan dari hasil gajinya saja. Semua tuduhan tersebut di bantah oleh Ustman sendiri:
“Ketika kendali pemerintahan dipercaya kepadaku, aku adalah pemilik unta dan kambing paling besar di Arab. Sekarang aku tidak mempunyai kambing atau unta lagi, kecuali dua ekor unta untuk menunaikan haji. Demi Allah tidak ada kota yang aku kenakan pajak di luar kemampuan penduduknya sehingga aku dapat disalahkan. Dan apapun yang telah aku ambil dari rakyat aku gunakan untuk kesejahteraan mereka sendiri .

Penyebab utama dari semua protes terhadap Khalifah Ustman adalah diangkatnya Marwan ibnu Hakam, karena pada dasarnya dialah yang menjalankan semua roda pemerintahan, sedangkan Ustman hanya menyandang gelar Khalifah.

Rasa tidak puas memuncak ketika pemberontak dari Kufah dan Basrah bertemu dan bergabung dengan pemberontak dari Mesir. Wakil-wakil mereka menuntut diangkatnya Muhammad Ibnu Abu Bakar sebagai Gubernur Mesir. Tuntutan dikabulkan dan mereka kembali. Akan tetapi di tengah perjalanan mereka menemukan surat yang dibawa oleh utusan khusus yang isinya bahwa wakil-wakil itu harus dibunuh ketika sampai di Mesir. Yang menulis surat tersebut menurut mereka adalah Marwan ibn Hakam.

Mereka meminta Khalifah Ustman menyerahkan Marwan, tetapi ditolak oleh Khalifah. Ali bin Abi Tholib mencoba mendamaikan tapi pemberontak berhasil mengepung rumah Ustman dan membunuh Khalifah yang tua itu ketika membaca al-Qur’an pada 35 H/17 Juni 656 M. Pembunuhan ini menimbulkan berbagai gejolak pada tahun-tahun berikutnya, sehingga bermula dari kejadian ini dikenal sebutan al-bab al-maftukh (terbukanya pintu bagi perang saudara).

Menurut ahli sejarah berkebangsaan Jerman Mr. Welhausen “Pembunuhan Ustman yang bermotif politik itu lebih berpengaruh terhadap lembaran sejarah Islam dibandingkan dengan sejarah-sejarah Islam yang lainnya. Kesatuan umat Islam yang baru terbentuk oleh dua Khalifah pendahulunya mulai sirna dan keruwetan muncul di tengah-tengah umat Islam. Selanjutnya masyarakat Muslim terpecah menjadi dua golongan yaitu Umaiyah dan Hasyimiyah. Golongan Umaiyah menuntut pembalasan atas darah Ustman sepanjang pemerintahan Ali hingga terbentuknya Dinasti Umaiyah”.

Ibnu Saba’, nama lengkapnya Abdullah bin Saba’, adalah seorang Yahudi dari Yaman yang masuk Islam. Ia merupakan provokator yang berada di balik pemberontakan terhadap Khalifah Ustman bin Affan. Ibnu Saba’ melakukan semuanya itu didasarkan motivasi dirinya untuk meruntuhkan dasar-dasar Islam yang telah dipegang teguh oleh umat Islam. Niatnya masuk Islam hanyalah sebagai kedok belaka untuk merongrong kewibawaan pemerintahan Khalifah Ustman, sehingga muncullah kerusuhan yang terjadi di berbagai wilayah kekuasaan Islam di antaranya adalah Fustat (Kairo), Kufah, Basrah, dan Madinah (Ali, 1995:129).
Selain faktor dari luar tersebut (provokasi dari Ibnu Saba’), dalam internal kekhalifahan Ustman bin Affan terdapat konfrontasi lama yang mencuat kembali. Permasalahan tersebut semata-mata berupa persaingan yang di antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah. Sedangkan Ustman sendiri merupakan salah satu anggota dari keluarga besar Bani Umayyah. Pada konteks sejarahnya, Bani Hasyim sejak dahulu berada di atas Bani Umayyah terutama pada masalah-masalah perpolitikan orang-orang Quraisy (Ahmad, 1984:33).

Lemahnya karakter kepemimpinan Ustman menjadikan kekuatan dan kekuasaanya semakin terancam. Artinya, pribadi Ustman bin Affan yang sederhana dan berhati lembut membuat para pemberontak lebih leluasa dalam melakukan provokasi dan kerusuhan di wilayah kekuasaan Islam. Sikap sederhana dan lemah lembut dalam ilmu politik sebenarnya kurang relevan diterapkan, apalagi pada saat itu kondisi pemerintahan dalam saat-saat kritis. Dan lagi-lagi pada beberapa kasus, Ustman bin Affan begitu mudah memaafkan orang lain, meskipun pada kenyataannya orang tersebut adalah termasuk kelompok yang memerangi dan sangat tidak suka dengan beliau. Demikianlah karakter kepemimpinan beliau.




PENUTUP

Khalifah Utsman adalah orang yang berhati mulia, sabar dan dermawan terutama untuk kepentingan jihad Islam. Usaha Khalifah Utsman dalam meluaskan wilayah Islam sangatlah banyak, diantaranya merebut daerah Iskandariyah dan Khurosan sehingga muncullah suatu usaha untuk membuat armada laut.
Hal lain yang berhasil dilakukan oleh Khalifah Ustman dan sangat bermanfaat bagi Umat sepanjang masa adalah menyusun Mushhaf al-Quran yang dikumpulkannya dari istri Nabi Muhammad SAW yaitu Siti Hafsah. Yang kemudian mengirimkannya agar di perbanyak ke berbagai daerah otonomnya.
Kelemahan beliau yang mengangkat beberapa kerabatnya, menurut ibnu Katsir ia mengutamakan ahli dan kerabatnya karena Allah, demi untuk menenangkan mereka dari kesenangan hidup di dunia. Mungkin kecintaannya kepada mereka adalah didalam pengutamaan yang langgeng, mengalahkan yang sirna, sebagaimana Nabi SAW. beliau memberi kepada suatu kaum dan tidak memberi pada yang lain. Beliau memberi kepada satu kaum, karena khawatir Allah menjerumuskan mereka kedalam neraka dan meninggalkan yang lain dengan harapan Allah akan menjadikan petunjuk dan iman didalam hati mereka.
Meski begitu dapat disimpulkan pula bahwa kepemimpinan Khalifah Utsman sangat produktif. Banyak hal yang telah dicapai dengan gemilang dengan usia Utsman RA. yang sudah tua yakni 70 tahun di awal menjabat hingga 82 tahun ketika beliau wafat. Betapa usia tak menyurutkan niat beliau untuk mengabdi demi tegaknya bendera Islam di dunia.













Daftar Pustaka

• A Hasymy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1979
• Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
• Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Depag RI, 1987
• Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, Pustaka Islamika, 2008
• Kisyik, Abdul Hamid, 10 SAHABAT Yang Dijanjikan Masuk Surga, Surabaya: AMANAH, 1997 Muhammadunnasir, Syed, Islam: Its Concepts and History, New Delhi: Kitab Bhavan, 1994
• Saputro Sandik, islam masa khulafaur rasyidin, www.scribd.com
• Siti Maryam dkk. (ed.), Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik hingga Modern, Yogyakarta: Jurusan SPI Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga dan LESFI, 2003
• Syalabi, Ahmad, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1992
• Wikipedia, Khalifah Utsman: Kenangan Sepanjang Masa, www.wikipedia.com